1. 1. Awal Perkembangan Kesuburan Tanah di Indonesia
Ilmu tanah di Indonesia Pertama diajarkan di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (merupakan kelanjutan dari Landbouw Hogeschool yang didirikan 1940, selanjutnya menjadi Institut Pertanian Bogor) oleh staf pengajar berkebangsaan Belanda, seperti Prof. Dr. Ir. F.A. van Baren (pakar agrogeologi dan mineralogi) dan Prof. Dr. H.J. Hardon (pakar ilmu tanah dan kesuburan tanah). Mereka kemudian digantikan oleh Drs. F.F.F.E. van Rummelen dan Dr. J. van Schuylenborgh. Akibat nasionalisasi, sejak tahun 1957 digantikan oleh Drs. Manus dan Dr. Ir. Tan Kim Hong. Penelitian tanah di Indonesia mulai saat Indonesia masih dalam kekuasaan kolonial Belanda oleh Dr. E.C.Jul. Mohr (1873–1970). Dr. Mohr yang bertugas di Indonesia sebagai kepala Laboratorium Voor Agrogeologie en Grond Onderzoek di Bogor (sekarang menjadi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat) telah menjalankan survei di Indonesia sejak tahun 1920. Ia menerbitkan buku pentingnya tahun 1933. Buku tersebut memaparkan iklim dan komposisi tanah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, Papua, Maluku, Halmahera, Kalimantan, dan Sulawesi. Versi yang disempurnakan diedarkan kembali pada tahun 1972. Buku ini masih menjadi rujukan bagi pakar tanah di daerah tropika sampai sekarang.
Setelah berakhirnya masa kolonial di Indonesia, ilmu tanah di indonesia mulai berkembang bersamaan dengan lahirnya terobosan terobosan baru oleh peneliti pada masa itu, seperti :
Go Ban Hong
Go Ban Hong memetakan jenis tanah pulau Jawa skala 1:250,000 tahun 1966. Ia terkenal sebagai pakar kesuburan tanah dan konservasi tanah di Indonesia. Ia terkenal dengan konsep fenomena kelelahan tanah di Indonesia dan kondisi tanah yang banyak sakit, karena terus-menerus terkuras akibat produksi padi yang selalu digenjot. Ia menemukan bahwa tanah yang subur semakin langka, daya produksi pangan semakin mundur, tanah-tanah semakin terkuras khususnya humus karena irigasi dan pupuk pabrik, sehingga tanah memadat dan keras pada musim hujan dan becek di musim air berkelimpahan. Tanaman kahat air di musim kemarau dan kahat udara segar di musim becek, dan manfaat pupuk pabrik menurun drastis. Ia menyarankan agar selalu memperhatikan pemberian bahan baku kompos, pupuk kandang/hijau, masa istirahat tanah diperhatikan, serta mengurangi kebutuhan air irigasi yang berkelebihan. Ia juga menyarankan waktu itu, bahwa padi gogo berpotensi lebih tinggi daripadi sawah.
Kang Biaw Tjwan
Kang Biauw Tjwan (lahir di Kota Batu, Kabupaten Malang, 11 Januari 1932 – meninggal di Boston, Amerika Serikat, 2 Februari 2008 pada umur 76 tahun) adalah seorang ilmuwan tanah, agronomi, dan agroforestri. Dr. Kang berjasa dalam mengembangkan sistem budidaya atau pola tanam lorong (alley cropping) sebagai alternatif dari pertanian tebang dan bakar (slash-and-burn). Alley cropping merupakan sistem budidaya di mana tanaman pangan ditanam di lorong di antara pohon atau semak/ rumput pagar atau kombinasi keduanya. Sistem pertanian ini membentuk lorong-lorong di antara pohon/ tanaman pagar, lorong tersebut dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman pangan seperti palawija dan hortikultura. Sistem ini memberikan kesuburan tanah seperti penambahan bahan organik darai pohon.
2. Perkembangan Kesuburan Tanah
Revolusi Hijau adalah nama dari penggambaran teknologi yang di temukan oleh Norman Borlaung, sebuah penemuan yang mengantarkannnya sebagai peraih nobel pada Tahun 1970. Pada tahun 1950 an hingga 1980 an, revolusi hijaju berkembang di negara negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Filipina.
Dampak positif dari revolusi hijau berkembang pesat di dunia, terutama di negara negara berkembang dan negara yang kekurangan pangan, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, gerakan revolusi hijau masuk dan berkembang di bawah rezim orde baru, program revolusi hijau yang dijalankan mampu mengantarkan indonesia menjadi sebuah negara berswasembada pangan pada rentang 1984 – 1989.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu.
Teknologi genetika memicu terjadinya
Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan
adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat
ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia.
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang pertanian dan kesadaran akan lingkungan, berbagai perkembangan yang berkaitan dengan revolusi hijau telah memunculkan sejumlah persoalan baru. Keberhasilan meningkatkan hasil panen padi dengan teknologi baru membuat petani cenderung menanam padi lebih sering dalam pola pertanamannya dengan menggantikan tanaman lain yang biasanya tanaman pangan legum (kedelai, kacang tanah). Kecenderungan ini lebih terdorong lagi oleh perangsangan berupa kredit dan subsidi pada sarana produksi dan dukungan harga pada hasil padi. Akibatnya proses penyuburan tanah melambat disamping pengaruhnya menurunkan nilai gizi penduduk berkenaan dengan penurunan bekalan protein (Chang, 1991).
Lingkungan beririgasi bergandengan dengan pemupukan nitrogen berat dan penanaman secara monokultur sinambung varietas padi yang sama atau yang secara genetik sekeluarga atau mirip telah menimbulkan epidemi hama dan penyakit. Penggunaan air irigasi yang telah diadakan dengan biaya tinggi tidak mencapai efektivitas dan efisiensi yang diharapkan kerena pengelolaan buruk. Irigasi intensif mengubah sifa-sifat tanah yang menurunkan produktivitasnya. Penggunaan air tanah bermutu rendah dan pemompaannya secara berlebihan menyebabkan peningkatan ke garaman atau alkalinitas tanah yang juga mengarah ke kekahatan Zn, Pemupukan yang lebih mementingkan N untuk cepat memacu produksi daripada unsur hara lain dan pupuk organik menimbulkan ketimpangan dalam neraca hara tanah. Penggunaan pupuk, khususnya N, menjadi tidak efisien.
Efisiensi pupuk N karena diterapkan sebagai pupuk unggulan hanya kira-kira 50% atau kurang. Perolehan dari penggunaan unsur hara N sehubungan dengan harga padi terus menurun, dari 1 (N) : 10 (padi) pada tahun 1972 menjadi 1: 5 sekarang (Chang, 1991). Penggunaan pupuk N berlebihan dapat berdaya pengaruh buruk atas lingkungan. Pengutamaan hara N daripada hara lain, seperti P, K, S dan Ca dan hara mikro, dan pupuk organik mengarah ke penimpangan hara dalam tanah dan selanjutnya menurunkan produktivitas tanah.
Menurut Shiva (1993) pilihan revolusi hijau memang dibangun dari pengabaian jalur-jalur lain untuk meningkatkan produksi pangan yang lebih berwawasan ekologi, seperti perbaikan sistem pertanaman campuran, mutu benih asli, dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya setempat. Varietas-varietas padi-padian unggul yang dikembangakan di Asia diuji dalam lingkungan Sahel (bagian selatan Mauritania) yang tidak bersahabat. Ternyata hasil panennya tidak lebih baik daripada varietas lokal. Maka strategi revolusi hijau Asia perlu diganti dengan strategi yang dapat disebut “mengembalikan energi ke dalam tanah” (Robson, 1991).
Belajar dari pengalaman selama masa revolusi hijau yang sukses meningkatkan hasil produksi pangan di indonesia, akan tetapi berbanding terbalik dengan laju kerusakan ekologi yang di akibatkannya. Berbagai upaya dalam meningkatkan kesuburan tanah kembali ataupun meningkatkan kemampuan lahan marginal dalam menyediakan produksi yang optimal, berbagai solusi mulai dikemukakan oleh berbagai ahli kesuburan tanah.
Pertanian Organik
Pertanian organik bukanlah isu baru dalam sejarah budidaya pertanian. Pertanian organik sudah ada sejak zaman prasejarah ketika manusia memuali bercocok tanam berdasarkan azas ekosistem. Pada tahun 1930an dan awal 1940an, pakar botani terkemuka Sir Albert Howard dan istrinya Gabriel Howard mengembangkan pertanian organik. Howard terinspirasi dari pengalaman mereka mengenai metode pertanian tradisional di India, pengetahuan mereka mengenai biodinamika, dan latar belakang pendidikan mereka. Sir Albert Howard dapat dikatakan sebagai "bapak pertanian organik" karena ia yang pertama kali menerapkan prinsip ilmiah pada berbagai metode pertanian tradisional dan alami. Sedangkan di Indonesia pertanian organik masuk dan berkembang kembali pada awal tahun 90an, setelah revolusi hijau tidak lagi memberi hasil yang optimal dan kerusakan yang lahan yang disebabkannya.
Pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan organik tanah, menggunakan berbagai teknik seperti pupuk hijau dan kompos untuk menggantikan nutrisi yang hilang dari tanah oleh tanaman pertanian sebelumnya. Proses biologis ini dikendalikan oleh berbagai mikroorganisme seperti mikoriza yang memungkinkan terjadinya produksi nutrisi secara alami di dalam tanah sepanjang musim tanam. Pertanian organik mendayagunakan berbagai metode untuk meningkatkan kesuburan tanah, termasuk rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman penutup, pengolahan tanah tereduksi, dan penerapan kompos. Dengan mengurangi pengolahan tanah, maka tanah tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara. Hal ini berarti nutrisi yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen dan karbon semakin sedikit yang menghilang.
Pertanian organik diyakini mampu mengelola tanah dengan baik dengan kemampuan menahan air yang lebih tinggi. Hal ini dipercaya menjadi sebab mengapa pertanian organik mampu bertahan pada tahun yang kering. Pertanian organik mampu membentuk bahan organik tanah lebih baik dibandingkan pertanian konvensional, yang dapat memberi manfaat jangka panjang.
Dalam buku Dirt: The Erosion of Civilizations, pakar geomorfologi David Montgomery mengemukakan krisis yang akan datang yang berasal dari erosi. Pertanian bergantung sepenuhnya pada tanah atas (top soil) yang kurang lebih sedalam satu meter, namun bagian ini terus terkuras dengan laju sepuluh kali dibandingkan laju pengembaliannya. Pertanian konvensional tanpa pengolahan tanah, yang sangat bergantung pada herbisida untuk membasmi gulma, adalah salah satu cara untuk meminimalisasi erosi. Namun sebuah studi yang dilakukan oleh USDA menemkan bahwa aplikasi pupuk kandang pada lahan pertanian, meskipun lahan tersebut dibajak, dapat membangun lapisan tanah atas lebih cepat dibanginkan pertanian konvensional tanpa pengolahan tanah.
Lahan usaha tani yang tidak memiliki usaha peternakan di dalamnya mungkin akan lebih sulit dalam mengembalikan kesuburan tanah dan membutuhkan input kotoran dari luar untuk digunakan sebagai sumber nitrogen yang baik. Namun nitrogen juga dapat diberikan dengan menggunakan legum sebagai tanaman penutup tanah.
Pengapuran
Di indonesia, sebagian besar janis tanahnya ber pH masam dengan minimnya ketersedian kandungan unsur hara yang tersedia pada tanah, ditambah dengan meningkatnya jumlah lahan kritis dengan pengolahan intensif dan rendahnya kandungan bahan organik. Pada tanah masam pH nya berkisar 4 – 5,5, sehingga unsur hara tidak tersedia bagi tanaman dan terjerap oleh ion H+ yang menyebabkan rendahnya produksi. Salah satu cara untuk meningkatkan pH dan ketersedian unsur hara maka pengapuran merupakan salah satu solusi.
Kapur banyak mengandung unsure Ca maupun Mg tetapi pemberian kapur kedalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsure Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karena itu pH tanah perlu dinaikkan agar unsur-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan.
Masalah tanah masam sangat kompleks. Mulai dari kandungan hara hingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Masalah yang umumnya terjadi pada tanah masam antara lain :
1. Terakumulasinya ion H+pada tanah sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
2. Tingginya kandungan Al3+ sehingga mearcun bagi tanaman.
3. Kekurangan unsur hara Ca dan Mg
4. Kekurangan unsur hara P karena terikat oleh Al3+ 5. Berkurangnya unsur Mo sehingga proses fotosintesis terganggu, dan
6. Keracunan unsur mikro yang memiliki kelarutan yang tinggi pada ranah masam
Dengan masalah kompleks yang di sebabkan oleh penurunan pH yang menyebabkan kemasaman tanah , pemberian bahan amelioran seperti kapur dan bahan organik dapat menjadi solusi dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanh seperti :1. Menaikkan pH tanah. 2. Menambah unsur – unsur Ca dan Mg. 3. Menambah ketersediaan unsur-unsur P dan Mo 4. Mengurangi keracunan Fe, Mn, dan Al. 5. Memperbaiki kehidupan mikroorganisme dan memperbaiki pembentukan bintil- bintil akar
Pada akhir 90an, pemberian bahan emelioran seperti kapur pada lahan pertanian mulai banyak memunculkan penelitian penelitian baru yang menghubungkan dengan perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah.
Pertanian Berbasis Konservasi dengan LEIA dan LEISA
Berdasarkan pengalaman dari dampak dampak buruk penerapan sistem pertanian berbasisi revolusi hijau, perbaikan perbaikan lahan dan peningkatan kualitas lahan secara ekologi tanpa harus merusak siklus siklus biotik ataupun abiotik pada ekosistem dengan tujuan mengurangi dampak sampai sekecil mungkin. Sesuai dengan dengan pengertian konservasi itu sendiri yaitu upaya atau tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus dan berkesinambungan baik kualitas maupun kuantitas. Definisi Konservasi dan Kesuburan tanah memang berbeda, akan tetapi punya keterkaitan antara satu dan yang lain.
Upaya konservasi tanah dan air mencakup teknik-teknik sebagai berikut (Notohadiprawiro, 1989) : (1) mempertahankan penutupan tanah dengan pertanaman sepanjang tahun, (2) mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah dengan jalan pemupukan berimbang dengan P sebagai hara kunci, mengembalikan sisa pertanaman ke dalam tanah, dan memberikan pupuk hijau, dan (3) menerapkan teknik dasar konservasi, seperti penanaman kontur, penanaman berjalur dan/atau penterasan, apabila teknik 1 dan 2 difikir belum mencukupi menurut pertimbangan kelerengan lahan, erosivitas hujan dan/atau erodibilitas tanah. Melihat data latar belakang yang dihimpun FAO nyata sekali kepentingan faktor konservasi tanah dalam mengembangkan pertanian berkelanjutan.
Komponen-komponen yang dimasukkan mencakup pertanaman pangan pokok, mulsa dari sisa pertanaman pangan pokok, rumput dan semak untuk penahan (barrier) angin dan pakan ternak, rumputnya sekaligus berfungsi sebagai perangkap pasir yang tererosi angin, dan bahan fosfat alam untuk pupuk lambat tersedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar